Minggu, 19 Januari 2014

Budaya Sekaten




Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti “saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah” dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah”.

Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.


Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.

Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.

Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.

Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.

Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.

Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.

Grebeg Muludan

Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.

Sejarah Gamelan

Gamelan sekaten yang pertama kali ditabuh berada di Demak yang dimiliki oleh Sunan Giri. Dan gamelan ini sekarang berada di Kasultanan Cirebon dan Kasultanan Banten. Dan gamelan yang berada di Kraton Jogja dan Kraton Solo sekarang itu peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusumo.

Gamelan sekaten ini digunakan buat sarananya nyebarin ajaran agama Islam yang dicampur dengan unsur budaya Jawa. Konon, ide ini dicetuskan oleh Sunan Kalijaga yang mempunyai keinginan menggunakan Gamelan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

dimulainya gamelan sekaten ditabuh di Pelataran masjid Gedhe ini ketika Raden Patah bertahta di Kraton Demak yang juga terkenal dengan sebutan Sultan Bintara I. Ketika Sultan Trenggono, ratu Demak Bintara akan menikahkan salah satu putrinya dengan Fatahillah atau Sunan Gunungjati lalu Sunan Gunungjati mendapatkan titah untuk menyiarkan agama Islam. Makanya… gamelan sekaten dari Kraton Demak sekarang menjadi pusaka Kraton Kasepuhan Cirebon.

Sumber lain mengatakan klau Gamelan Sekaten yang berada di Kraton Jogja dan Kraton Solo bukan dari Demak tetapi peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusumo. Kesimpang siuran ini karena… konon ceritanya kurang kumplit. Waktu itu yang menyampaikan cerita ini Sultan Hadiwijaya dari Kraton Pajang yang lagi bermusuhan dengan Arya Penangsang dari Jipang

Konon, gamelan yang ditinggalkan oleh Sultan Agung bernama Kangjeng Kyai Gunturmadu dan Kangjeng Kyai Guntursari. Setelah perjanjian Gianti tahun 1755 itu tuh… ada pembagian gamelan dimana Kangjeng Kyai Guntur Sari menjadi milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kangjeng Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat.

untuk melengkapai Gamelan yang terpisah ituh… Pakubuono IV membuat gamelan lagi istilahnya adalah mutrani gamelan Kangjeng Kyai Guntur Madu yang ada di Jogja.

Sejak saat ituh… di Kraton Kasunanan Surakarta mempunyai gamelan sekaten Kangjeng Kyai Guntur Sari (sing sepuh) dan Kangjeng Kyai Guntur Madu (mutrani).

Sementara di Kraton Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkubuono I juga membuat pasangan dengan mutrani Kangjeng Kyai Guntur Sari yang ada di Solo dan diberi nama Kangjeng Kyai Nagawilogo. Nagawilaga sendiri mempunyai arti

Naga berarti ular yang angat besar dan menurut kepercayaan jawa Ular yang bisa menyangga Bumi, Wi berarti menang dan Laga berarti perang. Jadi nama Kangjeng Kyai Nagawilaga berarti perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk memenangkan peperangan dan mempertahankan Kraton Mataram dari serangan Bangsa Belanda dan peperangan tersebut dibantu oleh rakyat.

Sejak ituh Gamelan Sekaten di Kraton Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi lengkap dengan Kangjeng Kyai Guntur Madu (sing sepuh) dan Kangjeng Kyai Nagawilaga (mutrani)

Gamelan yang sudah lengkap ini setiap tahun dikeluarkan dari Kraton Jogja untuk ditabuh. Konon… Katanya yang mendengarkan tabuhan gamelan ini bisa awet muda

http://valid.student.umm.ac.id/2010/01/22/sekaten/

0 komentar: